“Ano… sumimasen, Sakura no Kokosei wa doko desuka? (maaf,
SMA Sakura ada di mana?)”
Ini adalah kali ke Sembilan aku bertanya pada orang-orang di
jalan. Padahal jarak rumahku ke sekolah hanya tiga kilometer dan kemarin aniki
(kakak laki-laki) sudah menunjukkan jalannya padaku, tapi aku masih saja pusing
melihat jalan-jalan di sini. Aku melirik jam tanganku. Yabai (bahaya)!! Sudah
jam delapan! Padahal tadi aku sudah berangkat pagi-pagi sekali, pukul enam. Itu
artinya aku menghabiskan dua jam hanya untuk berputar-putar di jalanan!!
Sepuluh menit kemudian aku sudah berdiri di depan pintu
masuk sebuah kelas, seorang guru perempuan melihatku mematung. Sensei
mendekatiku, “Ara! Kau anak baru itu ya?” Tanya Sensei berkaca mata ini,
“Sepertinya kau terlambat?”
“Sumimasen, sulit sekali menemukan ruang kelas ini. Jadi,
saya terlambat.” Jelasku. Sebetulnya sih, bukan Cuma karena pusing mencari
ruang kelas, tapi aku juga tersesat selama dua jam. Ahaha…memalukan sekali.
“Sokka… yah, kalau begitu silakan masuk. Jangan suka
mematung di depan pintu kelas.”
Pertama kali yang aku dengar setelah membuka pintu kelas
hanyalah suara-suara ribut dari penghuninya. Lalu, saat aku melangkah
masuk….entah mengapa berubah jadi jeritan anak-anak perempuan.
“Kyaaaa!! Kawai…”
Eeeeeehhhh???!!! Kawaiii???? Oke, aku memang lucu. Maa…ii
yo.
Sensei memberi isyarat agar para fansku ini diam. Mata
mereka tertuju padaku seperti menantikan idola mereka menyanyikan sebuah lagu
di panggung konser. Mendadak Sensei berbicara, menghentikan khayalanku. “Oke,
silakan perkenalkan dirimu.”
“Ore wa Mafuyu desu.” Kata-kataku seperti bergema di ruangan
yang tenang ini. “Yoroshiku onegaishimasu.” Aku mengakhiri salam perkenalanku
dengan membungkuk dan seisi kelas membalas “onegaishimasu” Secara serentak.
Sensei mempersilakanku untuk memilih sendiri tempat duduk
yang aku suka. Tapi, mataku belum terbiasa untuk melihat keadaan seisi kelas
bahkan, ketika memperkenalkan diri aku tidak sempat berpikir merencanakan tempat
duduk.
Dari bangku belakang aku mendengar seseorang menyebut
namaku. “Mafuyu!” dia adalah seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi
dan tegap. Rambutnya hitam legam lurus dengan potongan tidak terlalu pendek dan
tidak terlalu panjang bagi laki-laki. Melihat wajahnya sekilas seperti ada aura
kagum yang diam-diam menyelinap. Dia pasti maskot di kelas ini.
“Duduklah di sini.” Katanya sambil menarik kursi di
sampingnya.
“Akai-san sigap sekali ya? Padahal aku juga menyiapkan
bangku untuk Mafuyu.” Seorang laki-laki di belakangnya juga menarik kursi
kosong. Kalau diperhatikan laki-laki ini juga punya postur tinggi dengan rambut
hitam lurus dan wajah menarik. Haaa?? Kenapa ada dua makhluk keren di sini??
Yaah, tapi sudahlah. Aku tidak begitu mempermasalahkannya. Yang membuatku
heran, kenapa dua orang ini ingin aku duduk sebangku dengan mereka??
“Asada juga? Yah, apa boleh buat. Besok kita giliran” kata
laki-laki yang dipanggil Akai-san ini.
Tapi…. “chotto…!” belum sempat aku bereaksi apa-apa Akai-san
sudah menyeret tasku dan meletakkannya di bangku sebelahnya. Apa katanya tadi?
Giliran? Memangnya aku barang?? Mattaku…
Jam-jam pelajaran ternyata berjalan lebih normal daripada
yang aku bayangkan. Iya, normal. Aku pikir akan ada bentrokan, pemberontakan,
pembakaran kelas, bullying, atau anarkisme terjadi tiba-tiba. Aku akui khayalanku
sedikit aneh, tapi memang sempat terlintas pikiran seperti itu dan aku juga
sudah membayangkan aksi penyelamatan diriku seandainya hal itu tiba-tiba
terjadi. Pilihan pertama aku akan terjun dari jendela secepatnya, alternatif
kedua aku akan mencari tali yang panjang dan mengikat semua orang yang ada di
sini agar mereka menghentikan aksi anarkisnya. Tapi, sepertinya tidak mungkin
karena sebelum melakukannya aku pasti sudah bonyok-bonyok.
Kelas menjadi tenang dan sepi karena banyak anak-anak yang
keluar untuk pergi ke kantin. Akai san dan Asada san juga tidak kelihatan.
“Mafuyu, Yakisoba.” Di sampingku sebuah tangan terulur
sambil menggenggam sepotong roti yakisoba. Oh! Kebetulan sekali. Tenagaku
benar-benar terkuras untuk berjalan-jalan menemukan tempat ini tadi.
“Domo…” kataku.
“Aku Tomoyuki.” Katanya memperkenalkan diri sambil melompat
dan duduk di meja di depanku. “Kau beruntung sekali, jika mereka tertarik
padamu itu artinya kau bukan orang sembarangan.”
“Mereka?”
“Akai san to Asada san. Aitsu wa bagemono da.”
“Bagemono???” Aku tidak percaya di dalam kelas ada dua
monster.
“Hooo…” Tomoyuki san sekarang menggeser duduknya mendekat
padaku, matanya terlihat berapi-api. “Mereka itu dua orang yang cerdas dalam
akademi dan berbakat dalam olahraga! Akai san dapat nilai tertinggi hampir di
semua bidang pelajaran IPA, sementara itu Asada san terbaik di bidang IPS.
Dalam olahraga mereka juga sangat hebat. Akai san mengikuti ekskul basket dan
saat ini aku menjadi kaptennya, a…dia juga bagus dalam karate. Kalau Asada san,
dia jago dalam bulu tangkis. Mereka itu orang yang jeli dalam melihat hal-hal
yang menarik!”
“Sugoi na…” komentarku.
“Ya…tapi tetap saja mereka punya kelemahan. Kedua monster
itu sama sekali tidak bisa menggambar. Hahaha!” Tomoyuki san turun dari mejaku.
“Mafuyu, kalau kau mau kau bisa bergabung di tim basket putra bersamaku. Aku
kaptennya, jangan lupa.” Katanya, dia pun melangkah keluar kelas.
Tim….basket….putra??? Naruhodo…Tomoyuki san mengira aku―
Ah…mo ii…
AAA
Orang
lain mungkin berpikir jika ada remaja yang mengajak untuk bertemu di belakang
gedung sekolah, itu artinya akan ada pernyataan cinta darinya. Tapi, dalam
kasusku ini lain lagi. Undangan dari Akai san dan Asada san di belakang gedung
sekolah tidak terasa seperti pernyataan cinta, tapi lebih mengarah ke pada
interogasi kriminal pembunuhan. Dengan takut-takut aku mengengdap-endap di
balik tembok dan…di sana! Di bawah pohon mangga aku melihat dua orang preman anak sekolah sedang berdiri dengan tatapan
tajam. Dua orang itu seperti singa kelaparan menunggu mangsanya, mengerikan.
Aku
berjalan ke arah mereka, menyongsong kematian.
Mereka
mungkin mengajak berkelahi. Akan ada pertumpahan darah di sini.
Berkelahi
dengan mereka adalah hal yang paling mustahil yang bisa kupikirkan. Lihat,
mereka itu monster, berbadan besar, atlet karate, atlet bulu tangkis. Sedangkan
aku? Aku pendek dan ototku lembek. Kalau aku berkelahi dengan mereka…
Aku
pasti mati…
“Mafuyu.”panggil
Asada san. Di tempatku berdiri rambut pendek ala laki-lakiku berkibar di tiup
angin. Di depanku mata tajam Akai san menatapku, tanganku dingin dan
berkeringat.
“Orang
lain mungkin tidak dapat melihatnya, tapi, mata kami ini tidak bisa dibohongi.”
Kata Akai san, lebih menyeramkan. Dapat melihat apa? Jangan-jangan mereka tahu
kalau selama ini aku…
Aku
adalah alien dari panet lain??
Ah,
tidak mungkin. Bahkan, aku tidak tahu kalau selama ini aku adalah alien. Aku
ini manusia!!! Yang benar saja…
“Sa...
kotaeru.” Aku menciut ketakutan. “omae wa…onna desuka?”
Ah,
aku pikir ada apa. Tenu saja… “Hai, onna desu.”
Daun-daun
mangga bergemerisik terhempas angin. Rambut Akai san dan Asada san kulihat
bergoyang-goyang dengan lembut diterpa angin.
“Eeeeeeehhhh….????!!!!!”
Aku
bingung. Apakah seseorang harus sekaget itu setelah mendapat jawaban dari
pertanyaan sederhana “apakah aku seorang perempuan?” tentu saja aku perempuan.
Jelas sekali kan? Memangnya apa yang terlihat laki-laki dari diriku?
Asada
san meletakkan tangannya di pundakku dan aku baru menyadari bahwa dia memang
sangat tinggi. “Semudah itu kau menjawabnya?? Lalu, kenapa kau berpakaian
seperti itu?” dia bertanya.
“Eh?
Pakaian?” tanyaku tolol.
Akai
san melipat tangannya di depan dada. Pose seperti itu membuatnya terlihat lebih
keren. “Yang kau pakai itu seragam laki-laki.”
Aku
melihat diriku sendiri dibalut oleh seragam rapi dan indah, ternyata…memang aku
memakai seragam laki-laki. “Ah! Sokka… jadi ini kenapa banyak anak yang salah
paham dengan melihatku sebagai anak laki-laki! Ini seragam Aniki, ayahku tidak
bisa membelikanku seragam baru, jadi dia menyuruhku memakai seragam ini.”
“Aniki?”
“Aku
tinggal dengan Otousan dan Aniki. Ibuku sudah lama meninggal. Karena tinggal
dengan dua orang laki-laki sejak kecil, aku jadi terbiasa dengan tingkah anak
laki-laki, gaya bahasa laki-laki, dan seluruh baju di rumahku juga kebanyakan
baju laki-laki.” Jelasku.
“Nandayo….”
Asada san tertawa dan Akai san tersenyum yang lebih mirip dengusan. “rambutmu?”
“Ah,
ini…” aku mengelus rambutku. “otousan yang memotong rambutku. Dia bahkan lupa
kalau punya anak perempuan. Dikiranya aku ini laki-laki.”
“Puhh…”
Asada san dan Akai san makin meningkatkan level tertawa mereka. Aku sendiri
kebingungan harus berekspresi seperti apa. Sejenak kemudian Akai san menatapku
dengan serius, aku mengalihkan pandanganku.
“Bagaimana
nanti jika Sensei mengetahui kalau kau bukan anak laki-laki?” tanyanya
tiba-tiba.
Benar
juga. Aku sendiri baru memikirkan hal ini sekarang setelah Akai san menanyaiku.
“Yah…tentu saja aku harus mengatakan yang sebenarnya.”
“Peraturan
mengenai seragam di sini sudah ditetapkan dengan jelas, kau mungkin ka nada
dalam masalah kalau melanggarnya,” lalu, sepertinya Akai san memikirkan
sesuatu. “mungkin tidak, selama tidak ada orang yang memperhatikan data
identitas formalmu.”
“Untungnya
di absensi tidak pernah ada daftar gender.” Sela Asada san. “kami akan
membantumu.” Tambahnya.
“Honto
ni??”
Bagus!
Akai san dan Asada san mungkin bukan orang yang seperti kupikirkan sebelumnya,
mereka pasti masih memiliki sisi baik yang terkubur dalam diri mereka. Mereka
bilang akan membantuku agar tidak ada yang tahu identitasku yang sebenarnya,
aku harus berterima kasih pada mereka.
“Tapi,
kau harus menerima semua ajakan kita.” Kata Asada san.
“Omoshiroi…”
gumam Akai san. Sial. Aku tidak memprediksi adanya syarat sebelumnya. Aku
melupakannya.
AAA
“Mafuyu!
Booru!!” teriak Tomoyuki sambil melambaikan tangannya padaku. Hari ini jadwal
kami adalah olahraga. Anak-anak perempuan sedang jogging santai memutari gedung
sekolah, sementara kami, anak laki-laki (ralat: aku perempuan yang
menyelundupkan diri sebagai laki-laki bersama siswa laki-laki) bermain basket
di lapangan indoor. Asada san memasukkan bola dengan memukai di pertandingan
ini, tapi, Akai san lebih gila lagi, dia sudah 17 kali memasukkan bola seperti
setan kerasukan. Sugoi!!!
DDDUUUUAAAKK!!
Tiba-tiba
dari arah samping seorang pemain menabrakku dan pandanganku seperti berputar
dan berkelebat. Aku bisa merasakan tubuhku terpental dan jatuh di lapangan yang
keras. Ore no ashi… ittai!
“Daijobu?”
sebuah tangan terulur di depanku. Aku memandang orang yang berdiri di depanku
itu yang telah mengulurkan tangannya. “Aku menabrakmu tadi, warui.”
“Daijobu.
Arigatou, Akai san.” Kataku menerima uluran tangannya, lalu aku berjalan ke
pinggir lapangan dengan menahan sakit di kaki kiriku. Permainan basket selesai
dan semua pemain beristirahat di bangku tepi lapangan.
“Shootingmu
lumayan bagus, Mafuyu. Tapi, fisikmu kurang terlatih.” Komentar Tomoyuki.
Aku
mencopot sepatu dan kaos kakiku, melihat adanya lebam merah di beberapa tempat.
“Aku tidak bisa main basket” jawabku jujur.
Semua
orang kembali ke kelas dengan penuh peluh. Handuk-handuk putih tergantung di
pundak mereka dan aku melihatnya sambil memakai kembali kaos kaki dan sepatuku.
Saat aku mendongak lagi, mereka sudah menghilang. Mengagumkan sekali kecepatan
laki-laki. Hah! Kalau aku tidak cepat menyusul mereka aku akan tersesat! Aku
bahkan masih belum hafal denah sekolah ini. Aku berdiri dan bertumpu satu kaki.
Berjalan terseok-seok tapi berusaha tidak menghiraukan sakitnya, aku mengejar
rombongan anak laki-laki. Tapi, terlambat. Mereka sudah menghilang, keadaan
sudah sepi.
“Minna
wa doko da…!!??” teriakku frustasi.
“Kau
tidak kembali ke kelas?” Tanya sebuah suara di belakangku. Aku terlompat kaget.
“A…iya.
Akai san” Jawabku. Apa dia tadi mendengar terikanku?
Dia
berkata bahwa dia sedang mencari handuknya tadi, jadi dia tidak masuk ke kelas
bersama teman-teman. “Omae no ashi?” dia bertanya.
“Daijobu.”
Jawabku sekenanya. Lalu dia mengajakku kembali ke kelas dan aku berjalan dengan
terpincang-pincang.
Komentar
Posting Komentar